Desember 22, 2024 Korea Selatan

Makin Banyak Warga Korsel Ogah Punya Anak, Terbanyak Gegara Ini

Warga Korsel – Pada beberapa tahun terakhir, Korea Selatan (Korsel) telah menghadapi fenomena sosial yang cukup mengkhawatirkan: semakin sedikit pasangan muda yang tertarik untuk memiliki anak. Bahkan, jumlah kelahiran di negara tersebut terus mengalami penurunan drastis, menjadikan Korsel sebagai salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia. Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian para ahli demografi, tetapi juga pemerintah, yang kini tengah mencari solusi atas krisis sosial yang semakin mendalam di kutip oleh tourdegunungsewu.com.

Tantangan Demografi yang Semakin Mencekam

Warga Korsel – Menurut data dari Statistik Korea, angka kelahiran di Korsel pada 2023 tercatat hanya 0,78 anak per perempuan. Jauh di bawah angka penggantian populasi yang idealnya berada pada angka 2,1. Jika tren ini berlanjut, Korsel diprediksi akan mengalami penurunan populasi yang signifikan dalam beberapa dekade mendatang, dengan potensi berkurangnya tenaga kerja dan peningkatan jumlah lansia yang sangat mengkhawatirkan. Lantas, apa yang menyebabkan semakin banyak warga Korsel enggan untuk memiliki anak? Beberapa faktor kompleks dan saling berkaitan menjadi penyebab utama dari krisis ini.

1. Tantangan Ekonomi yang Menekan

Warga Korsel – Salah satu alasan terbesar mengapa banyak pasangan muda di Korsel enggan memiliki anak adalah biaya hidup yang sangat tinggi. Biaya pendidikan, perumahan, dan kesehatan di negara ini semakin melambung, sementara upah yang diterima oleh banyak pekerja muda cenderung stagnan atau tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Bagi banyak orang tua muda, memiliki anak berarti harus mengorbankan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar keluarga, dan hal ini bisa menjadi beban yang sangat berat.

Selain itu, persaingan ketat di dunia pendidikan di Korsel juga menambah tekanan. Sistem pendidikan yang sangat kompetitif mengharuskan orang tua untuk mengeluarkan biaya besar demi memastikan anak-anak mereka bisa bersaing di masa depan. Beberapa pasangan merasa bahwa membesarkan anak di lingkungan yang sangat kompetitif ini bukanlah pilihan yang ideal, mengingat dampaknya terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan mental.

2. Peran Gender dan Beban Ganda bagi Perempuan

Korsel dikenal dengan budaya patriarki yang masih kuat. Ini menjadi faktor penting dalam keputusan pasangan muda untuk tidak memiliki anak. Bagi banyak perempuan, memiliki anak berarti harus menghadapi beban ganda antara pekerjaan dan pengasuhan anak, yang seringkali tidak didukung dengan kebijakan yang memadai.

Meskipun Korsel telah mulai memperkenalkan kebijakan cuti melahirkan dan tunjangan anak, banyak perempuan merasa bahwa beban pengasuhan anak tetap tidak merata. Tanggung jawab domestik dan pengasuhan anak sering kali jatuh sepenuhnya pada ibu, sementara peran suami dalam mengasuh anak dan mengurus rumah tangga masih terbatas. Akibatnya, banyak perempuan yang memilih untuk menunda atau bahkan menghindari kehamilan demi menjaga karier dan kebebasan pribadi mereka.

3. Pernikahan yang Semakin Jarang Terjadi

Tingkat pernikahan di Korsel juga mengalami penurunan yang signifikan. Banyak orang muda kini memilih untuk hidup mandiri dan mengejar karier, alih-alih membentuk keluarga tradisional. Gaya hidup modern yang lebih menekankan pada kebebasan pribadi, kesejahteraan. Pencapaian diri membuat banyak orang merasa tidak tertarik untuk terikat dalam komitmen pernikahan atau membesarkan anak.

Lebih lanjut, ada anggapan bahwa pernikahan dan memiliki anak tidak lagi menjadi prioritas dalam hidup banyak orang muda di Korsel. Mereka lebih memilih kebebasan finansial dan emosional tanpa beban keluarga yang besar. Selain itu, banyak yang merasa bahwa sistem sosial dan ekonomi di Korsel tidak mendukung bagi mereka untuk membangun keluarga yang stabil dan sejahtera.


Baca juga: Dokter Ungkap 3 Penyebab Kasus Stroke Usia Muda Makin Marak Di RI


4. Kesejahteraan Mental yang Terabaikan

Kesejahteraan mental juga menjadi faktor yang tak kalah penting dalam keputusan untuk tidak memiliki anak. Tingginya tekanan sosial, stres kerja, dan tuntutan kehidupan sehari-hari membuat banyak orang merasa tidak siap untuk menambah tanggung jawab dengan memiliki anak. Keseimbangan hidup yang sulit tercapai, ditambah dengan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi di kalangan generasi muda, mempengaruhi pandangan mereka terhadap keluarga.

Generasi muda Korsel lebih mengutamakan kualitas hidup, dan mereka cenderung tidak ingin menambah tekanan dengan tanggung jawab orang tua. Banyak yang merasa bahwa memiliki anak bisa menjadi sumber stres tambahan, yang justru akan mengurangi kebahagiaan mereka di masa depan.

5. Krisis Kepercayaan Terhadap Pemerintah

Meskipun pemerintah Korsel telah mengalokasikan anggaran besar untuk program-program yang bertujuan meningkatkan tingkat kelahiran. Seperti pemberian subsidi anak dan fasilitas perawatan anak. Banyak warga yang merasa bahwa kebijakan-kebijakan ini belum cukup efektif untuk mengatasi masalah mendalam yang mereka hadapi. Banyak pasangan muda merasa bahwa meskipun ada dukungan finansial. Hal tersebut tidak cukup untuk mengurangi tekanan sosial dan ekonomi yang mereka alami.

Selain itu, adanya ketidakpastian ekonomi dan politik di Korsel juga berkontribusi pada krisis ini. Beberapa warga merasa pesimis terhadap masa depan, sehingga tidak merasa yakin untuk membesarkan anak dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Solusi yang Bisa Di upayakan

Pemerintah Korsel kini menyadari bahwa krisis kelahiran ini memerlukan perhatian serius dan solusi jangka panjang. Beberapa kebijakan telah diterapkan, seperti memperkenalkan tunjangan anak, memperpanjang cuti melahirkan, dan meningkatkan subsidi pendidikan. Namun, untuk benar-benar mengatasi masalah ini. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi keluarga muda. Dengan mengurangi ketimpangan gender, memperbaiki kesejahteraan mental masyarakat, serta menciptakan sistem ekonomi yang lebih ramah keluarga.

Jika tren penurunan jumlah kelahiran ini berlanjut tanpa penanganan yang tepat. Korsel akan menghadapi dampak jangka panjang yang sangat serius, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat Korsel untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi yang menyeluruh untuk memastikan masa depan yang lebih stabil bagi generasi mendatang.

Di-tag pada:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *